Rabu, 29 Desember 2010

Mengapa Inalum Harus Dinasionalisasi?

Mengapa Inalum Harus Dinasionalisasi?


altAda fakta menarik. Minggu lalu ketika Inalum diundang secara resmi oleh komisi VII, tak ada satupun batang hidung petinggi Inalum datang. Beberapa waktu kemudian, ketika Inalum diundang komisi VI, kompak semua petinggi dan direksi hadir. Secara politik ada upaya Inalum mengadu-domba penghuni Senayan, dan atau juga mencoba menghindari ponis publik terkait fakta pelanggaran lingkungan yang dilakukan Inalum di bumi Asahan.

Ketika suara menolak perpanjangan kontrak Inalum mulai terdengar, politik bisnis mulai dijalankan. Jepang, sebagai pemegang mayoritas saham Inalum mengancam menyetop investasi 867 juta dollar AS. Rencananya, dana ini akan digunakan sebagian untuk ekspansi smelter dengan dana 367 juta dala AS. Inilah langkah ancaman yang sarat digunakan oleh para investor dalam menekan pemerintah. Ketika negara mencoba menggunakan peran dalam menaikkan nilai tawar, pilihan langkah hengkang, dan atau menunda investasi kerapkali digunakan investor sebagai alibi. Dapat dipahami bahwa investor menanamkan modal untuk mendapatkan profit, hanya saja bukan dengan cara menjadikan rakyat negeri ini sengsara, sebagai warga kelas dua di tengah gelimangan kekayaan. Praktek Inalum di Asahan sejauh ini menunjukkan bahwa ada segelintir pengambil kebijakan yang diuntungkan (baik di daerah maupun di pusat), dan warga Asahan tetap menjadi korban.


Pemerintah sejauh ini memiliki dua opsi dalam penanganan masa depan Inalum; pertama, tidak melanjutkan kerjasama. Dengan ini, pemerintah akan mengambil alih saham Inalum milik Nippon Asahan Alumunium Co. Ltd (NAA). Kedua, Indonesia melanjutkan kerjasama dengan Jepang atas dasar menguntungkan. Misalnya, Indonesia menjadi pemilik saham mayoritas. Sebagai catatan, saat ini saham Inalum dikuasai 58,88 persen dikuasai NAA, sisanya sekitar 41,12 persen menjadi milik Indonesia. UU BUMN menyatakan, penguasaan saham oleh republik semestinya minimal menguasai 51 persen. Dalam konteks ini, pemerintah semestinya mengambil pilihan super cerdas dalam menyelamatkan dan memaksimalkan asas manfaat kekayaan Asahan.

Selama ini dalam operasinya, Inalum menghasilkan aluminium batangan (ingot) alloy, aluminium ekstrusi, aluminium sheet dan aluminium foil. Sebanyak 60 persen dari total produksi diekspor ke Jepang, sedangkan sisanya digunakan di dalam negeri dan diekspor ke beberapa negara lainnya.

Dalam laporannya, semenjak 1983-2003, Inalum selalu merugi dengan kerugian mencapai 1,2 miliar dolar AS. Dengan demikian, Inalum tidak banyak dibebankan berbagai kontribusi kepada republik. Dalam perkembangannya, pada tahun 2006, Inalum baru mulai membayar setoran pajak kepada pemerintah. Walaupun demikian, pinjaman utang tetap berlaku. Hal ini ditambah dengan suku bunga tinggi setelah nilai Yen mengalami kenaikan terhadap berbagai mata uang dunia.

Jika dianalisa lebih dalam, Indonesia hanya mendapat manfaat yang sangat minimal dari Inalum. Lebih dari itu, dalam fakta operasinya semenjak 1983, Inalum baru membayar pajak selama empat tahun kepada republik. Indonesia sebagai negara penghasil, tidak mampu mengembangkan industri yang berbahan baku aluminium dikarenakan satu fakta; aluminium kita lebih banyak diekspor ke Jepang khususnya. Yang jauh menyesakkan tentu saja beban utang republik. Kini klaim utang yang harus ditanggung adalah 50 trilyun rupiah yang berasal dari perbankan dan lembaga keuangan Jepang. Semua biaya ini berasal dari cost operation atau biaya investasi proyek Asahan, misalnya pembangunan PLTA berkapasitas 603 MW dan smelter (pabrik peleburan) aluminium dengan kapasitas 225.000 ton per tahun. Perlu diingat, listrik PLTA Asahan digunakan untuk mengoperasikan pabrik pengolahan aluminium dan ingot diekspor untuk industri di domestik Jepang atau industri Jepang di negara lain.

Sederet fakta di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa, tidak ada niat sang saudara tua (klaim Jepang saat perang Pasifik tentang posisi saudara tua) untuk mengangkat harkat derajat saudara muda (Indonesia). Yang ada, pemerasan Jepang yang dilakukan secara legal yang ditonton oleh 230 juta rakyat Indonesia. Kini momen menghentikan rekayasa Jepang di Inalum telah tiba, saatnya opsi cerdas ditempuh; menasionalisasi asset dan operasi Inalum ke pangkuan republik, Welcome home Asahan Baru..!!


sumber roabaca.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar